KALAMANTHANA. Sampit – Kasus dugaan korupsi yang menjerat Direktur CV Aryagapana, Ardianur sampai saat ini terus bergulir di Kejaksaan Negeri Sampit. Penetapan status tersangka membuat sejumlah pihak memiliki asumsi hukum masing-masing, terlebih setelah Ardianur mengungkapkan kronologis status penahanannya tersebut di media sosial baru-baru ini.
Dalam postingan akun media sosial facebook, Minggu (16/10) sekitar pukul 11.00 WIB, Ardianur mengungkapkan kronologis penetapan status tersangka terhadap dirinya oleh Kejaksaan Negeri Sampit, dalam dugaan kasus korupsi terhadap pengadaan barang di Instansi Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kotim.
Tidak membutuhkan waktu lama, hanya selang waktu 3 jam setelah postingan tersebut dibuat, netizen ramai mengomentari tulisan yang berisi ungkapan kronologis status penetapan tersangka itu.
Dalam postingannya, Ardianur mengungkapkan saat itu ada tujuh peserta lelang yang mengikuti untuk pengadaan alat ukur udara di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kotim dan CV Aryagapana berani memberikan tawaran terendah, yakni sekitar 7 persen dari pagu anggaran yang disediakan, karena saat itu dari 6 peserta lelang lainya tidak memberikan pernyataan keberatan. Untuk itulah dirinya menjadi pemenang lelang yang digelar Unit Layanan Pengadan (ULP) Pokja V.
Setelah ditetapkan sebagai pemenang lelang, Ardianur berusaha untuk menghubungi pihak distributor penyedia alat pengukur udara PT. Indo Tekhno Plus, dengan mengirimkan dokumen spesifikasi dari lelang tersebut.
Dalam perjalanannannya, Ardianur memesan alat kepada pihak distributor pada 22 Juli 2011, kemudian pada 25 Juli 2011 dia mendapat surat balasan dari pihak distributor bahwa alat yang dipesan dengan merek PM 10 high volume air sampler type 3.500 AFC tidak diproduksi lagi oleh pabrik di Amerika, dilampiri juga surat dari pabrik di Amerika, dan diganti dengan mrek PM 10 high volume air sampler Type 4200 AFC yang disertai dengan keterangan dari pihak distributor dan pabrik bahwa Type 4200 AFC itu mempunyai 3 poin kelebihan dari type sebelumnya yaitu type 3500 AFC dengan harga yang diberikan sama seperti sebelumnya.
Dengan dasar surat distributor dan dari pabrik tersebut kemudian ia mengajukan adendum kepada pihak BLH. Oleh kepala BLH waktu itu, ia bersama PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) disarankan berkoordinasi pada Inspektorat.
“Oleh inspektorat waktu itu dikatakan kepada kami bahwa jika barang atau alat yang diadendum itu speknya lebih rendah maka tidak bisa tetapi bila speknya sama atau lebih lebih tinggi dan harga kontrak tetap sama maka tidak dipermasalahkan,” ungkap Ardianur.
Dengan pertimbangan itu dan juga melihat kelebihan alat dibanding dengan type sebelumnya serta membaca PP 54/2010 dan juga dokumen kontrak akhirnya permohonan Ardianur selaku kontraktor untuk adendum disetujui oleh pihak BLH. Setelah penandatangan adendum mengenai Spek alat dan juga penambahan waktu pelaksanaannya, mengapa ditambah waktu pelaksanaannya karena distributor memerlukan waktu untuk memesan alat tersebut karena alat tersebut diproduksi di Amerika.
“Akhirnya saya pesanlah kepada distributor alat sesuai spek yang dimaksud dalam adendum kontrak tersebut. Setelah beberapa lama menunggu akhirnya datanglah alat yang saya pesan tersebut dan langsung saya serahkan kepada pihak BLH,” jelas Ardianur dalam tulisannya.
Setelah alat tersebut datang pihaknya belum berani membuka dari bungkus atau pakingnya karena menunggu teknisi dari pihak distributor datang dari Jakarta. Setelah pihak distributor datang maka mereka bersama-sama membukanya.
Dan langsung diadakan pelatihan dari pihak distributor kepada petugas-petugas BLH tentang pengoperasian alat tersebut. Pelatihan tersebut dilaksanakan selama dua hari, satu hari di BLH dan satu hari di perusahaan sawit. “Tapi di perusahaan sawit apa saya sendiri tidak tahu karena saya tidak diperlukan ikut oleh PPTK waktu itu,” katanya.
Setelah pelatihan itu selesai dan alat sudah diuji coba serta befungsi dengan baik, saya buatlah berita acara serah terima barang kepada pihak BLH. “Saya mengajukan pembayaran kepada pihak BLH dan dibayarkanlah sesuai dengan nilai pada kontrak saya dan selesailah pekerjaan itu,” tambahnya.
Seiring berjalannya waktu, paket pekerjaan itu diperiksa oleh Kejaksaan Sampit karena dianggap ada merugikan negara. Dan ditetapkanlah PPK pekerjaan tersebut sebagai tersangka dengan dakwaan tidak membuat HPS. “Baru belakangan ini juga saya ketahui alasannya penetapan tersangka PPK tersebut,” sebutnya.
Sementara itu menanggapi tulisan tersebut, salah satu netizen, dengan akun atas nama Danny Sky mengatakan, unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terpenting adalah adanya kerugian keuangan negara.
“Tetapi jika dilihat dari kronologis ini, maka negara tidak dirugikan, tapi diuntungkan. Saya bingung dengan delik yang disangkakan bahwa ada kerugian negara di sini, padahal kesalahan administrasi yang dilakukan oleh penjabat negara bukan pengusaha. Kalau saya sarankan lebih baik lakukan praperadilan saja,” kata Danny.
Sementara itu dikonfirmasi terpisah, pihak keluarga Ardianur, M.Arnudin menyatakan jika pengajuan praperadilan terhadap adik kandungnya tersebut ditolak, maka pihaknya akan mengikuti proses hukum yang berjalan yakni sidang perkara.
“Jika ditolak ya kita tetap mengikuti proses hukum yang sudah berjalan melalui sidang perkara, tetapi kita berharap praperadilan tersebut dapat diterima, karena akan membuka duduk persoalan sejak awal,” ungkap Arnudin.
Ditambahaknnya, pihak keluarga sangat yakin Ardianur adalah orang yang sangat tabah dalam menghadapi apapun masalah yang menimpanya. ”Dia orang sangat yakin dengan perkara yang dihadapi ini dan selalu ikhlas dalam menjalani ketetapan Allah,” tukas Arnudin.
Sementara itu, Ardianur ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pengadaan alat pengukur tekanan udara pada BLH Kotim. Dia ditahan pada Jumat (7/10) lalu. Proyek pengadaan peralatan di BLH Kotim tersebut dibiayai APBD 2011 dengan pagu anggaran sebesar Rp 800 juta. Kerugian negara dari proyek itu sekitar Rp 400 juta. (joe)
Discussion about this post