KALAMANTHANA, Muara Teweh – Status puluhan desa yang berada di sekitar areal hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak guna usaha (HGU) di Kabupaten Barito Utara tidak jelas. Desa-desa itu tersebar di Kecamatan Teweh Selatan, Teweh Baru, Montallat, Teweh Timur, dan Gunung Purei.
Kondisi ini terungkap saat rapat Panitia Khusus (Pansus) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) DPRD Barito Utara dengan eksekutif, Senin (13/2). Anggota Pansus RTRWK yang hadir antara lain Purman Jaya, Henny Rosgiaty Rusli, Taufik Nugraha, Mustafa Joyo Muchtar, Abri, dan Helma Nuari Fernando.
Desa-desa yang tidak jelas statusnya ini berdampak pada masyarakatnya. Mereka akan kesulitan mengurus sertitifkat tanah karena lahan selalu diklaim milik perusahaan, tetapi pajak bumi dan bangunan (PBB) tetap ditanggung warga. Begitu pula bantuan dari pemerintah pusat, tak dapat mengucur secara lancar, karena terkendala administrasi pemilikan areal.
“Kita lihat pada sektor petambangan. Ada sekitar 200 perizinan tambang eksplorasi. Di Kecamatan Teweh Selatan dan Teweh Baru, satu KK dijanjikan mendapat lahan sekian hektare. Bahkan mereka dijanjikan dapat sertifikat. Tapi belakangan lahannya tidak diakui,” ujar Ketua Pansus RTRWK DPRD Barito Utara Purman Jaya.
Sedangkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Barut Suriawan Prihandi menjelaskan, berdasarkan hasil konsultasi dengan Seksi Tata Ruang Wilayah Kalimantan Kementerian LHK, desa-desa ang masuk dalam wilayah HPH dan HGU dimungkinkaan untuk keluar. Syaratnya, Kabupaten Barut harus meneyelesaikan tata batas desa dan mengusulkan ke pusat. Biaya penyelesaian tata batas ditanggung kabupaten. Adapun pihak pusat membantu di wilayah perbatasan negara. “Desa definitif dimungkinkan untuk dilepaskan (keluar dari HPH dan HGU),” katanya.(mki)
Discussion about this post