KALAMANTHANA, Penajam – Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) sangat bersemangat mengelola sumur minyak dan gas bumi (migas) bekas Chevron Indonesia. Bupati Yusran Aspar sudah meminta dukungan politik kepada DPR untuk pengelolaan di Blok East Kalimantan itu pada 2018 mendatang.
“Saya telah bertemu anggota DPR RI dapil Kaltim dan membahas masalah itu. Participating interest (PI) atau hak partisipasi daerah hanya 10 persen dan itu tidak adil karena sumur migas Chevron sudah jalan dan lokasinya di daerah kita. Tinggal ganti baju saja,” kata Yusran kepada KALAMANTHANA, Senin (20/2/2017) di Penajam.
Yusran kemudian menyitir UUD 1945 yang salah satunya menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jelas, yang dimaksud dengan negara adalah pemerintah pusatdan daerah.
“Dalam waktu dekat ini kami akan melakukan pertemuan dengan PT Pertamina membahas masalah tersebut setelah seluruh aset milik Chevron diserahkan ke negara, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Saya ingin sekali diskusi dengan pihak Pertamina dan konsorsium dengan Pertamina karena Pemkab PPU punya perusahaan dengan komposisi saham 60:40,” lanjutnya.
Opsi lain yang ditawarkan Yusran yakni cost and fee. Dengan kata lain, Pemkab bertindak hanya sebagai pengelola sumur migas dan mereka mengambil 10 persen dari nilai proyek sebagai upahnya.
“Pertamina akan kesulitan mengelola sumur-sumur migas besar yang ditinggal pada tahun 2018 kerena di tahun 2018 nanti banyak perusahaan migas mengakhiri kontrak. Jadi kita tawarkan dua opsi ini, yakni konsorsium atau cost and fee. Jika cost and fee, Pertamina tetap bapak angkat, kami kelola dengan cost and fee seperti Vico,” tuturnya.
Menurut Yusran, langkah Pemkab PPU mengambil alih ladang Chevron itu untuk mengurangi ketergantungan bangsa ini terhadap pihak asing terhadap pengelolaan eksploitasi dan pertambangan migas di Indonesia. Yusran menegaskan, langkah yang diambil ini semata-mata demi kemajuan dan kemandirian bangsa untuk mempercepat terciptanya pertambangan dan eksploitasi migas dalam negeri.
“Bukan hal mustahil jika kita memulai nasionalisasi secara perlahan. Dilihat dari sumber daya manusia yang kita miliki itu bukan masalah. Banyak putra-putri kita bekerja di perusahaan asing. Kita bisa mempekerjakan bidang tertentu kepada asing yang belum kita kuasai, tetapi kewenangan pengelolaan sepenuhnya itu perusahaan Indonesia. Satnya kita kelola sumber daya alam kita sendiri agar bisa dinikmati bangsa ini. Pemerintah pusat tidak perlu ragu terhadap kemampuan kita dan tidak selalu tergantung dengan asing, kita punya dasar kerena semua itu ada UUD 1945,” tegasnya. (hr)
Discussion about this post