KALAMANTHANA, Jakarta – Akhirnya, penyidik Bareskrim Mabes Polri memeriksa Jafar Abdul Gaffar, Ketua Koperasi Samudera Sejahtera (Komura), terkait kasus operasi tangkap tangan (OTT) dugaan pungli dan pemerasan di Terminal Peti Kemas Palaran, Samarinda.
Jafar yang juga anggota DPRD Kota Samarinda itu memenuhi panggilan penyidik Bareskrim pada Rabu (29/3/2017). “Yang bersangkutan saat ini sedang diperiksa penyidik Bareskrim,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto.
Jafar ternyata sudah diperiksa penyidik sejak pukul 10.00 WIB. Tapi, sepertinya pemeriksaan berlangsung maraton dan masih berlangsung. Rikwanto menyebutkan dalam pemeriksaan ini, status Jafar adalah sebagai saksi.
Rencana pemeriksaan terhadap Jafar semula sempat dijadwalkan pada Rabu (22/3) lalu. Tetapi, ternyata jadwal tersebut selalu berubah-ubah. Setelah hampir seminggu, Jafar akhirnya diperiksa penyidik di Gedung Bareskrim Polri.
Jafar diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Ketua Koperasi Komura. Saat OTT pada Jumat (17/3) lalu, di koperasi tersebut penyidik Bareskrim Polri dan Polda Kaltim menyita uang sejumlah Rp6,1 miliar. Belakangan, penyidik juga menemukan deposito yang nilainya lebih fantastis yakni sebesar Rp326 miliar.
Dari Koperasi Komura sendiri, penyidik sudah menetapkan seorang sebagai tersangka. Dia adalah DHW yang sehari-harinya sebagai Sekretaris Komura. Selain itu, ada pula dua orang lain yang juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni HS alias Abun dan NA dari PDIB.
Kapolda Kaltim Inspektur Jenderal Polisi Safaruddin usai memimpin langsung tim gabungan pada Jumat (17/3) mengatakan, pengungkapan dugaan praktik pungutan liar itu berdasarkan laporan masyarakat ke Bareskrim Polri.
“Laporan yang masuk ke Bareskrim dan Polda Kaltim menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan pengguna jasa cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan di Surabaya, Jawa Timur, biaya untuk satu kontainer hanya Rp10 ribu, sementara di sini (Samarinda) untuk kontainer 20 feet dikenakan tarif Rp180 ribu dan yang 40 feet sebesar Rp350 ribu. Jadi, selisihnya lebih dari 180 persen,” terangnya.
“Secara sepihak mereka dengan mengatasnamakan koperasi menerapkan tarif tenaga kerja bongkar muat (TKPM) tinggi. Padahal, di Pelabuhan Peti Kemas Palaran itu sudah menggunakan mesin atau ‘crane’, tetapi mereka meminta bayaran namun tidak melakukan kegiatan buruh,” jelas Safaruddin. (ik)
Discussion about this post