KALAMANTHANA, Sampit – Ketua Fraksi PKB DPRD Kotawaringin Timur (Kotim) M.Abadi sangat menyayangkan bahwasannya sertipikat program Proyek Operasi Nasional Agraria, (Prona) di Desa Kandan, Kecamatan Kota Besi, yang merupakan legalisasi aset tanah atau proses administrasi pertanahan mulai dari adjudikasi, pandaftaran tanah, hingga penerbitan sertipikat tanah. Dimana Program ini diselenggarakan dengan tujuan mempercepat pemenuhan hak dasar rakyat agar mendapat kepastian hukum kepemilikan tanah, justru tidak sesuai dengan peruntukannya.
Abadi juga menjelaskan PRONA di wilayah tranmigrasi Desa Kandan pada tahun 2015 lalu itu kini sudah di digarap jadi perkebunan kelapa sawit dan bahkan sudah ada sebagian sertipikat PRONA ini telah dijual belikan. Dia juga menegaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) RI, meminta, kepada seluruh penerima Sertipikat Hak Milik (SHM) dari semua bidang, agar tidak diperjual-belikan.
“Sebab hal ini merupakan salah satu langkah dalam program percepatan Reforma Agraria, yang tak lain bagian utama dari visi dan misi pemerintah pusat, bahwa kemanfaatan tanah harus memberikan kemakmuran dan ketenteraman bagi masyarakat. Tetapi faktanya lahan transmigrasi di Desa Kandan ini justru menjadi perkebunan kelapa sawit,” ungkap Abadi Selasa (1/9/2020).
Bahkan disisi lain menurutnya, pihak kementrian sudah mengintruksikan agar sertipikat PRONA tidak boleh dijual belikan. Bahkan sudah diatur sesuai PP nomor 3 tahun 2014 pasal 31 selama 15 tahun kerna didalam program sertifikat prona menurutnya ada subsidi dari keuangan anggaran negara yang digelontorkan.
“Saya kira, undang-undang termasuk konstitusi memberikan kewenangan ini kepada negara yang dilaksanakan oleh pemerintah melaksanakan hal ini. Jadi, Negara lah yang berdaulat terhadap tanah. Penegasan ini ingin membuktikan bahwa tidak ada yang boleh sengsara, tidak ada yang boleh susah, tidak ada yang boleh resah karena merasa tidak berhak menempati tanah yang sedang ditempatinya,” jelasnya.
Bahkan Legislator Dapil V ini menegaskan, seperti yang terjadi di Desa Kandan bahwa sebagian besar pemilik sertifikat PRONA justru belum pernah melihat bentuk sertifikat PRONA tersebut. Bahkan secara tiba-tiba sebagian masyarakat mengetahui bahwa mereka memiliki sertifikat PRONA yang telah di garap oleh perkebunan kelapa sawit milik perusahan.
“Jadi saya rasa hal seperti ini tidak benar dan dugaan saya ada pihak-pihak yang bermain atas proses seperti ini jadi saya minta kepada kementrian agraria dan penegak hukum untuk bisa mengusut tuntas permasalahan ini agar mengetahui siapa pelaku mafia tanah tersebut,” tegasnya.
Dia juga mendorong agar aparat penegak hukum bisa melakukan pemeriksaan dalam proses peralihan jual beli tersebut kerna ada dugaan proses jual beli tanah di lahan transmigrasi itu dilakukan di bawah tekanan. Hal ini menurutnya bisa saja terjadi, dan mereka melakukan jual beli kerna pemilik merasa tidak ada kepastian hukum dan manfaat terhadap tanahnya yang telah digarap oleh perkebunan kelapa sawit dimaksud.
“Sehingga perjanjian jula beli yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa ini adalah merupakan “Misbruik Van Omstandigheiden” yang dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUH Perdata,” tutupnya. (drm)
Discussion about this post