Bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriyah baru saja berlalu. Kebijakan bertajuk minyak goreng murah untuk rakyat masih belum sesuai harapan. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi(HET) minyak goreng curah sebesar Rp 14 ribu per liter.
Ternyata upaya pemerintah mengawal harga sesuai HET tak mudah, di lapangan minyak goreng curah melambung hingga kisaran Rp19 ribu per liter. Bahkan, di sejumlah daerah minyak goreng jenis ini masih sulit didapatkan masyarakat.
Perkembangan terbaru,pada 23 Mei 2022 pemerintah kembali membuka keran ekspor CPO dan minyak goreng .Pertimbangannya karena minyak goreng dalam negeri sudah cukup berlimpah. Tapi pada kenyataannya , di pasaran harga minyak goreng curah masih jauh di atas HET.
Berbeda dengan minyak goreng curah , minyak goreng jenis kemasan yang tidak dikenakan kebijakan HET tersedia cukup berlimpah di ritel-ritel modern. Karena diserahkan ke mekanisme pasar harganya menjadi cukup tinggi untuk ukuran masyarakat kecil.
Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) , di pasar tradisional harga minyak goreng kemasan bermerk 1 dikisaran Rp26.650 per kilogram dan minyak goreng kemasan bermerk 2 Rp25.600 per kilogram.
Polemik distribusi minyak goreng di tanah air cukup berjalan alot dan berkepanjangan. Untuk merumuskan formula yang tepat , kebijakan distribusi minyak goreng dilakukan beberapa kali perubahan.Walaupun realisasinya belum berjalan maksimal.Pemerintah masih terus bekerja keras agar distribusi minyak goreng nasional dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Mengantisipasi kebutuhan minyak goreng yang sangat mendesak , pemerintah daerah mengambil kebijakan melaksanakan pasar murah minyak goreng curah . Kegiatannya digelar di beberapa kelurahan.Karena jumlah yang disediakan terbatas, tidak seluruh warga mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Apalagi pihak kelurahan juga mensyaratkan harus menunjukkan fotocopy Kartu Keluarga, sehingga warga dari kelurahan lain hanya gigit jari.
Hingga saat ini minyak goreng masih menjadi komoditi penting yang sulit tergantikan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 menyebutkan, rata-rata konsumsi minyak goreng sawit penduduk Indonesia mencapai 0,235 liter per kapita seminggu.
Konsumsi minyak goreng sawit diperkirakan terus meningkat, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor karena tumbuhnya industri jasa boga dan perubahan gaya hidup masyarakat yang didukung oleh perbaikan tingkat ekonomi.
Tingginya kebutuhan minyak goreng bagi negara berkembang seperti Indonesia menjadikan komoditi ini ‘bak magnet yang mengundang banyak pihak. Demi keuntungan menjanjikan banyak pengusaha terjun ke bisnis minyak goreng.
Tingginya disparitas harga antara minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan tak dimungkiri mengundang syahwat oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan besar , meskipun dengan cara melanggar hukum.
Akhir Maret 2022 lalu , Polres Murung Raya, Kalimantan Tengah berhasil menangkap pelaku pengemasan minyak goreng curah menjadi minyak goreng kemasan di Puruk Cahu, Ibukota Kabupaten Murung Raya.Ini menjadi sinyal bahwa modus perdagangan tidak terpuji itu memang ada, dan tidak hanya terjadi di kota-kota besar.
Dari kasus tersebut Polres Murung Raya berhasil menyita sebanyak 2,6 ton minyak goreng curah yang sudah dikemas.Minyak goreng curah didapatkan dari Banjarmasin, setelah dikemas lalu dijual oleh pelaku sebesar Rp 26 ribu per liter
Ditengah sulitnya mendapatkan minyak goreng murah masyarakat harus tetap hati-hati sebelum membeli. Jangan mudah terkecoh dengan harga murah dan kemasan menarik.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, mengatakan, daya tahan di suhu tertentu membedakan minyak goreng dalam kemasan dari minyak goreng curah. Minyak goreng curah yang dikemas ulang akan berembun.
Selain itu minyak goreng kemasan yang diproduksi secara resmi selalu dilengkapi dengan nama pabrik yang memproduksinya, label Standar Nasional Indonesia(SNI) dan izin edar BPOM. Kemudian terdapat barcode yang menginformasikan tahun minyak goreng tersebut diproduksi.
Wilayah Indonesia yang cukup luas dengan karakter geografis spesifik memerlukan perencanaan cermat dalam melakukan distribusi bahan pangan antar daerah. Pemerintah tentunya telah merumuskan mekanisme distribusi minyak goreng nasional sehingga tidak merugikan pengusaha. Mencermati hasil Survei Pola Distribusi (Poldis) Perdagangan Komoditas Minyak Goreng yang dilaksanakan BPS pada 2021 , Margin Perdagangan dan Pengangkutan Total(MPPT) untuk minyak goreng secara nasional adalah sebesar 17,41 persen.
Artinya angka tersebut mengindikasikan bahwa secara umum kenaikan harga minyak goreng dari produsen sampai dengan konsumen akhir adalah sebesar 17,41 persen, dengan melibatkan dua pelaku distribusi perdagangan utama yaitu distributor dan pedagang eceran.
Dirinci menurut provinsi, MPPT minyak goreng terendah berada di Provinsi Sumatera Barat sebesar 10,43 persen dengan melibatkan dua pelaku usaha distribusi perdagangan utama yaitu pedagang grosir dan pedagang eceran.
Sedangkan MPPT tertinggi adalah Provinsi Papua yaitu sebesar 37,26 persen . Penjelasannya, kenaikan harga minyak goreng dari tingkat produsen sampai konsumen akhir di Papua adalah sebesar 37,26 persen dengan melibatkan tiga pelaku usaha distribusi perdagangan utama yaitu distributor, pedagang grosir dan pedagang eceran.
Sementara di kawasan Kalimantan besaran MPPT minyak goreng antar provinsi cukup variatif. Kalimantan Barat (26,30 persen), Kalimantan Timur (23,77 persen), Kalimantan Tengah (23,67 persen), Kalimantan Utara (20,33 persen) dan Kalimantan Selatan(18,47 persen).
Masyarakat mengapresiasi upaya penegakan hukum yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Ditetapkannya para tersangka minyak goreng membuktikan bahwa pemerintah hadir memberikan kepastian hukum untuk menjawab keresahan masyarakat.
Permasalahan minyak goreng dalam negeri cukup menguras energi bangsa ini. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan tata niaga minyak goreng. Salah satu opsi yang dapat dilakukan adalah menempatkan pengawas pemerintah di setiap unit usaha, yaitu pabrik CPO, pabrik minyak goreng, distributor , agen hingga pengecer minyak goreng.
Point lain yang juga sangat penting adalah peningkatan pengawasan proses ekspor CPO dan minyak goreng ke luar negeri. Dibutuhkan komitmen tinggi untuk menegakkan peraturan agar dapat menjaga marwah kebijakan yang diputuskan.
Statistisi pada BPS Kalimantan Tengah
Discussion about this post