Berdasarkan riset yang dilakukan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi tahun 2022. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada Indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy).
Meskipun nilai indeks tetap namun ranking Indonesia di tingkat global mengalami penurunan dari 52 menjadi 54. Nilai yang stagnan tersebut juga tercermin pada semua indikator, yakni pluralisme dan proses pemilu, efektivitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik yang demokratis, dan kebebasan sipil.
Dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, EIU mencatat bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami tren naik turun. Sempat mengalami kenaikan pada periode 2010 hingga 2015, kemudian nilai Indonesia mengalami penurunan sepanjang 2016 hingga 2020.
Penurunan terdalam terjadi pada tahun 2017, ketika nilai indeks Indonesia menurun 0,58 dibanding capaian tahun sebelumnya. Penurunan terlihat pada indikator budaya politik yang demokratis dan kebebasan sipil. Di tahun 2010, angka budaya politik adalah 5,63 dan angka kebebasan sipil 7,06. Namun di tahun 2022, nilainya masing-masing menjadi 4,38 dan 6,18.
Realitas ini menguak fakta bahwa tren demokrasi kita tidak dalam keadaan baik dari berbagai indikator diantaranya pluralisme dan proses pemilu, efektivitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik yang demokratis, dan kebebasan sipil semuanya memiliki keterikatan yang mempengaruhi demokrasi kita ditambah lagi dengan tren demokrasi populis dalam praktik politik praktis yang semakin melanggengkan politik transaksional dan politik identitas yang kian merajalela dalam sistem demokrasi era kekinian.
Belum lagi, virus politik transaksional yang sudah mewabah serta tersebar luas dalam tubuh demokrasi kita menjangkit elite para kandidat, juga masyarakat. Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2004–2018 menunjukkan bahwa ada 247 kasus korupsi dengan anggota DPR dan DPRD sebagai terdakwa, 26 kasus adalah kepala lembaga atau kementerian, 199 kasus adalah pejabat Eselon I/II/III, dan jabatan lainnya.
Sedangkan hasil survei Transparency International (2020) menyatakan bahwa Indonesia adalah negara tertinggi ketiga di Asia yang melakukan praktik jual-beli suara saat pemilu. Data-data diatas mencerminkan bagaimana elite turut menyumbang kebusukan bagi demokrasi kita.
Tahun 2023 Indonesia memasuki gelangang politik, pada Februari 2024 Indonesia akan menggelar pemilihan Presiden wakil Presiden dan juga pemilu legislatif, tahapan proses pemilu bahkan telah dimulai sejak tahun 2022 lalu dan tahun ini akan semakin padat menjelang pencalonan dan masa kampanye. Indeks politik Indonesia tentunya juga akan diukur dan dinilai dari proses politik di tahun ini. Sirkulasi kepemimpinan dan elite akan terjadi proses ini juga yang kedepan akan menentukan kesejahteraan masyarakat lima tahun ke depan.
Faktanya dalam momen politik sebagian besar elite/kandidat selama ini hanya melihat masyarakat sebagai objek. Turun ke lapangan sebatas untuk menawarkan uang dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara singkat dan tidak substansial.
Jika tidak ada uang, politik identitas adalah alternatif. Memainkan narasi dan mengeksploitasi kesamaan/perbedaan suku, agama, dan ras untuk menegasikan kandidat lainnya merupakan cara-cara kotor yang dimainkan oleh para kandidat yang tidak memiliki kualitas atau mutu untuk berbuat.
Ironinya kita juga hidup dalam tren demokrasi populis dimana banyak anak-anak pejabat yang tiba-tiba datang dan lahir menjadi tokoh, para influencer yang punya banyak follower dan bisa endorse diri di media sosial, tiba-tiba di tarik oleh partai politik lalu menjadi tokoh yang seolah-olah memahami persoalan kontekstual ditengah-tengah himpitan hidup dan persoalan kontekstual yang dialami rakyat.
Perangkat politik kita secara praktis tidak memberikan kesempatan kepada para aktivis atau mahasiswa yang dilahirkan dari forum-forum diskusi, di gembleng dengan kaderisasi dan ditempa di lapangan yang penuh teka-teki.
Karena hari ini tren demokrasi elektoral tidak lagi melihat kualitas, maka usaha kita sebagai aktivis atau orang yang lahir dari rakyat bawah harus 1000 kali lipat lebih keras. Posisi dan jabatan startegis harus kita rebut, agar kita dapat membuktikan diri bahwa kita juga bisa berkarya membuktikan diri memberikan lagecy untuk kepentingan publik dan akhirnya mampu memartabatkan politik sebagai alat untuk mencapai kebaikan publik.
Dalam konteks Kalimantan Tengah sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia proses politik secara praktis melalui pemilu juga akan menentukan arah kebijakan dan nasib rakyat Kalteng kedepan.
Proses pemilu akan menentukan kualitas pemimpin maupun pejabat publik yang akan mengisi jabatan startegis maupun mewakili kita ditingkat lokal maupun nasional. Pemimpin dan pejabat publik adalah profesi yang serius, bukan sembarang orang bisa menjabat. Sama seperti profesi lainnya, dibutuhkan mereka yang memiliki kemampuan dan kecakapan guna mendukung kerja dan tugasnya ke depan.
Tugas masyarakat adalah menyeleksi para calon pemimpin dan pejabat publik yang akan mewakili kita, karena melalui mereka lah berbagai kebijakan dan legislasi dikeluarkan. Demi kesejahteraan pilihlah mereka yang berkualitas dan bermutu yang menawarkan politik gagasan dan kerja nyata, sudah saat nya rakyat tidak hanya dijadikan objek atau lumbung suara dalam pemilu sebab rakyat adalah subjek dan nafas demokrasi Republik ini.
Rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi di Negeri ini. Bahwa dalam politik dibutuhkan kekuasaan itu benar. Namun ia mestinya hanya sekedar alat untuk mencapai kebaikan publik.
Saya teringat dengan dr Johannes Leimena dengan pernyataan monumental nya bahwa “politik bukan teknik untuk berkuasa, melainkan etika untuk mengabdi.”
Discussion about this post