KALAMANTHANA, Palangka Raya – Keamanan penggunaan internet khususnya media sosial bukan hanya sebagai pembatasan dan pemblokiran, tetapi jauh lebih luas, termasuk di antaranya bagaimana peran para orang tua sebagai pengawas dengan anak-anak tentang apa yang pantas dan aman. Selain itu, peran aplikator platform pun turut menjadi bagian vital dalam menjaga keamanan dunia digital.
Kaum remaja merupakan salah satu kelompok pengguna terbesar teknologi digital untuk aktivitas sehari-hari, seperti menonton dan membuat konten, tetap berhubungan dengan teman di media sosial , bersantai, belajar, dan mengerjakan tugas sekolah. Mereka juga mengakses internet untuk mendapatkan dukungan bagi kesehatan fisik dan emosional serta kesejahteraan mereka. Mereka mungkin juga bereksperimen secara daring dengan berbagai cara untuk mengekspresikan diri.
Karena mereka sering online tanpa pengawasan Anda, remaja perlu mampu mengidentifikasi konten online yang dapat diterima dan tidak dapat diterima secara mandiri . Mereka juga perlu tahu cara berperilaku sopan saat online dan cara mengenali serta mengatasi risiko online. Tak heran jika kemudian Kementerian Digital Indonesia mencetuskan rencana kebijakan pembatasan usia penggunaan media sosial.
Hal itu menjadi pembahasan utama pada workshop online bertema “Keamanan Digital bagi Remaja” yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), bekerjasama dengan TikTok pada Jumat (31/1/2025).
Workshop yang dipandu Bendahara Umum AMSI yang juga Pemred MNC Trijaya, Gaib Maruto Sigit itu menghadirkan narasumber Communication Director TikTok Indonesia Anggini Setiawan, Founder SEJIWA, Diena Haryana dan Pemimpin Redaksi Republika, Andi Muhyiddin.
“Selama ini, TikTok sudah dan terus berusaha mewujudkan keamanan digital bagi remaja. Baik melalui algoritma dan sistem, di antaranya melalui kebijakan pembatasan usia, sumber daya dan fitur keamanan, serta kampanye proaktif dengan menggaungkan tagar #SalingJaga,” papar Anggini, yang mengungkapkan kebijakan TikTok untuk penggunanya.
Dia menyontohkan, dari sisi usia, TikTok menerapkan bahwa pengguna yang berusia di bawah 14 tahun tidak diperbolehkan membuat akun TikTok. Pembuatan akun oleh pengguna di bawah 14 tahun akan otomatis ditolak oleh sistem.
“Demikian juga bagi pengguna pada rentang usia 14 tahun hingga 17 tahun yang sudah masuk kategori remaja, meskipun sudah boleh membuat akun TikTok, tetapi kami tetap memberikan batasan-batasan fitur-fitur yang bisa digunakan dalam aplikasi,” ujarnya.
Anggini juga menambahkan, selama Januari-September 2024, Tiktok telah menghapus sebanyak 66.160.791 akun pengguna yang diduga di bawah usia 13 tahun.
“Ini merupakan komitmen TikTok untuk melindungi keamanan digital, khususnya terhadap remaja. Tak hanya itu, kami juga memiliki fitur pelibatan keluarga, yang memberikan panduan bagi orang tua,” ujarnya.
Sementara Founder SEJIWA, Diena Haryana mengungkapkan, salah satu yang cukup rawan dan dominan dialami remaja dalam dunia digital adalah cyber bullying.
Untuk mengantisipasi dan mencegah itu, sebut Diena, peran orangtua sangat penting. Pengetahuan atau literasi digital orangtua pun menjadi hal yang vital.
“Literasi digital bagi orangtua ini juga sangat penting, sehingga mereka bisa dan mampu memberikan pemahaman kepada anak-anaknya dalam pemanfataan ruang digital,” kata Diena.
Kasus cyber bullying terhadap anak dan remaja, lanjut Diena, rentan terjadi. Masalah utamanya adalah anak-anak sering kali ragu untuk mengatakan bahwa mereka di-bully karena takut bullying akan semakin parah. “Itulah mengapa sangat penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda peringatan cyber bullying,” tukas dia.
Diena juga memberikan beberapa tips bagi orangtua untuk menjaga keamanan digital kepada anak-anak mereka. Di antaranya dengan menerapkan kontrol orangtua untuk membatasi akses ke aplikasi dan konten.
Kontrol orangtua Aura dapat membatasi apa yang dapat dilakukan anak Anda secara daring. Misalnya, kontrol orangtua dapat membatasi aplikasi mana yang dapat digunakan anak Anda atau situs mana yang dapat dikunjungi.
Pengawasan dan pembatasan penggunaan media sosial oleh orangtua, imbuh Diena, bisa dilakukan dengan menerapkan tiga cara, yakni screen time, screen break dan screen zone.
“Tetapkan batas waktu harian di media sosial dan aplikasi lainnya. Karena anak-anak cenderung menghabiskan terlalu banyak waktu di situs media sosial seperti TikTok atau Instagram. Termasuk juga tempat mereka bisa menggunakan gawai,” sebut Diena.
Hal senada disampaikan Andi Muhyiddin. Bahkan Pemimpin Redaksi Republika itu mengibaratkan dunia digital, terutama media sosial seperti “hutan belantara yang penuh risiko”, sehingga peran pendampingan dari orangtua sangat diperlukan oleh anak untuk menjelajahinya.
Dia mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, risiko-risiko di dunia digital seperti pelecehan dan kekerasan berbasis gender online (KBGO), pada triwulan pertama 2024 saja terdapat 480 kasus. Jumlah itu meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 118 kasus.
“Korban terbanyak KBGO ini adalah anak-anak dan remaja berusia 18 sampai 25 tahun, dengan 272 kasus atau 57 persen, diikuti oleh anak-anak di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen,” bebernya.
Karena itu menurut Andi, peran orangtua dalam menjaga keseimbangan aktivitas online dan offline terhadap anak-anak mereka merupakan salah satu cara antisipasi yang mesti dilakukan.
“Tidak kalah pentingnya, para orangtua juga harus mampu membangun komunikasi dengan anak-anak di luar ruang digital. Orang tua perlu mengajak anak berbicara tentang pengalaman saat bermedsos, memantau bagaimana pengaturan privasi dan keamanan akun medsosnya,” kata Andi. (jy)
Discussion about this post