SATU lagi oleh-oleh perjalanan Menpar Arief Yahya dari Negeri Tirai Bambu Tiongkok. Kali ini terkait pembangunan sosial, bagaimana membuat masyarakat memperkuat kembali identitas budaya lokal dengan arsitektur nursantara. Semua rumah, ukuran berapapun, di kawasan itu harus punya ornamen yang menjadi symbol keaslian daerah.
Pemikiran itu muncul tatkala Menpar Arief Yahya melakukan perjalanan darat dari Stasiun Huangshan menuju ke Hongcun Village, sebuah kampung tua berumur 400-500 tahun, yang sudah tercatat oleh The World Cultural Heritage Site UNESCO tahun 2000. Kampung tua yang lebih cocok disebut desa wisata ini mengandalkan budaya kehidupan keseharian masyarakat di sana. Tidak ada bangunan yang diubah, arsitekturnya lama, bentuknya kuno, hanya interiornya yang dibuat lebih bersih, lebih cantik.
Bahan-bahan materialnya juga masih orisinal, pernah menjadi saksi kepemimpinan Dinasti Ming dan Dinasti Qing. Saluran airnya masih tradisional, kecil-kecil tetapi mengalir, bermuara ke kolam besar, yang oleh warga dijuluki Danau Nanhu. Danau yang dibangun 1607, banyak pepohonan tua yang mengelilingi, dan ada track memotong danau di tengah. Dari situ bisa masuk ke gang-gang kampung selebar 1,5 meter itu. Ada sekitar 140 rumah heritage asli dan dilindungi, yang dijadikan café dan tempat penjualan souvenir.
Sepintas, tidak ada yang istimewa dari dewa wisata yang lokasinya dilewati jika hendak menempuh perjalanan jauh di Yellow Mountain, Gunung Avatar itu. Tidak ada poin kuat, yang menarik, atau mengundang minat untuk tinggal beberapa hari di situ. Jika tidak disentuh oleh sutradara film Lee Ang, yang merancang film “Wo Hu Cang Long (Crouching Tiger Hidden Dragon)” di sana, mungkin tidak sepopuler sekarang.
Berkat fim yang memenangi Academy Awards ke-73, sebagai Best Foreign Film, Best Original Score, Best Cinematography, and Best Art/Set Direction itu, desa wisata itu kaya dengan cerita. Film itu kuat mengendorse Desa Hongcun menjadi seperti sekarang ini.
Tetapi bagi Menpar Arief Yahya, ada satu hal lagi yang perlu dicontoh dari Negeri Tembok China itu. Yakni ornament dragon atau dua naga dengan kepala saling berhadapan di atas atap luar rumah-rumah warga. Semua rumah, tidak terkecuali, mau kecil, besar, lama, baru, modern, tradisional, menggunakan ornament itu. Lalu, tembok bagian atasnya selalu ditutup dengan genting, yang ujung depan belakangnya selalu ada lekukan.
Kesan yang dibangun adalah: Tiongkok yang arsitektural rumahnya masih mempertahankan adat dan setia dengan kebudayaan yang sudah berturun-turun dipercaya leluhurnya. Konsep inilah yang dia sebut sebagai local wisdom, kearifan local. Menggunakan sentuhan tradisi Tiongkok yang ujungnya melengkung naik, estetika oriental. “Pengembangan 10 Top Destinasi dan semua destinasi kita juga harus begitu! Mengikuti arsitektur Nusantara, yang masing-masing daerah sudah punya ciri khasnya,” ujar Arief Yahya.
Kebetulan, Kemenpar akan berkolaborasi dengan Kemen-PU PR dan Kemen BUMN, yang membawahi BTN –Bank Tabungan Negara—untuk membangun homestay dan toilet bersih di destinasi. Sejumlah 10 persen dari total 1 juta rumah, program Kemen PUPR itu akan diproyeksikan ke Kemenpar untuk membangun homestay dan toilet bersih. “Kami sudah sepakat, arsitekturnya harus memperkuat posisi destinasi itu dalam budaya arsitektural,” kata dia.
Kerjasama dengan tiga pihak itu –termasuk BTN– akan diformalkan di Rakor Kemenpar, yang akan digulirkan JCC –Jakarta Convention Hall—Senayan. Salah satu syarat homestay di objek wisata nanti juga dengan desain arsitektur yang locak wisdom.
Dia mencontohkan kawasan Borobudur, begitu masuk dari jalan Jogja-Magelang, menuju Mungkid, seharusnya sudah ada ornament yang memperkuat dengan permainan batu dan candi-candi. “Dengan begitu, Borobudur tidak seperti alient, semacam makhluk angkasa luar yang tiba-tiba datang sendiri turun dari langit! Tapi sudah disuasanakan, seperti kami keluar Huangshan menuju Hongsun Village, sudah disuasanakan ornament atasnya sama dengan yang di perkampungan tua itu,” jelas Arief Yahya.
Indonesia punya ratusan gaya arsitektur rumah adat, dari Batak, Palembang, Padang (Minang Kabau) Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Pendapa Joglo Jawa, Betawi, Saung di Jabar, Madura, Jawa Timuran, Bali, NTB, NTB, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Semua itu memiliki daya pikat yang sangat kuat, sebagai produk budaya yang sudah ratusan tahun turun-temurun di sana. Sudah teruji paling tahan dengan cuaca ekstrem kekalipun.
Contoh yang bagus sebenarnya di Pantura –Pantau Utara Jawa–, dari Demak, Kudus, Pati, Rembang, Jepara dan ke selatan sampai Grobogan. Atap rumahnya sudah ada seperti wajang kulit, yang dinamakan genting Kudusan. Ada genting kelir di center, lalu genting pengapit kiri dan kakan, ujung-ujungnya genting bulusan, dan di paling sudut bawah dinamakan genting cungkrik. Jika berjalan di sepanjang Pantura itu, rumah-rumah penduduk yang masih setia menggunakan kayu-kayu itu.
Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan ke Menteri PU PR Basuki dan Menpar Arief Yahya agar kota seperti Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Harus ada “gonjong”-nya, yang bentuknya seperti tanduk kerbau dengan ujung yang runcing. Bukit Tinggi bisa kehilangan karakter khasnya, jika tidak mengakses hal-hal seperti ini. “China juga membuktikan, bahwa mereka juga concern di budaya arsitektura. Termasuk aktivitas yang ada di dalam area kampong wisata itu,” tuturnya. (*)