MENTERI Pariwisata Arief Yahya dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan(OJK) Muliaman D Hadad membuat kesepahaman. Mereka bersepakat mengembangkan destinasi dan industri pariwisata, yang terus didorong makin kuat dan makin cepat.
Investasi di sektor pariwisata, seperti hotel, konvensi, pengembangan kawasan, dan segala kelengkapan amenitas lainnya akan makin besar. “Karena itu perlu ada skema pembiayaan oleh lembaga keuangan non-bank, seperti perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, dana pensiun, pasar modal, dan sebagainya yang akan membantu mempercepat pembangunan destinasi dan industri pariwisata di Indonesia,” terang Menpar Arief Yahya.
Menurut dia, kebijakan dan harmonisasi aturan juga ikut diselaraskan, untuk menjamin proyek-proyek pengembangan infrastruktur pariwisata seperti resort, jalan dan bandara makin cepat. Kedua instansi pemerinah itu akan makin intensif melakukan pertukaran data dan informasi, sosialiasi dan edukasi, serta mendorong kemitraan usaha antara pelaku industri pariwisata dengan LJK.
“Ujungnya adalah pengembangan destinasi dan industri pariwisata secara optimal. Hidupnya kawasan pariwisata itu akan memutar roda perekonomian di daerah,” kata dia.
Kerja sama ini dinilai penting, mengingat kebutuhan investasi pariwisata terhitung besar. Nilai realisasi investasi pariwisata pada 2015 saja sudah mencapai US$1.049 juta dengan penanaman modal asing (PMA) US$732,46 juta dan penanaman dalam negeri (PDMN) US$316,61 juta. Pertumbuhan realisasi investasi tumbuh 53,17% dari tahun sebelumnya.
Jumlah itu terbilang wajar, mengingat ada target pembangunan 120.000 kamar hotel, 15.000 restoran, 100 taman rekreasi berskala internasional, 100 operator diving, 100 marina, 100 KEK, dan infrastruktur pariwisata lainnya yang dipancang Kemenpar. Semua itu, adalah upaya untuk mendungkung pencapaian target kunjungan 20 juta wisman dan pergerakan 275 juta wisnus di Tanah Air hingga 2019 mendatang.
Skema pembiayaan tersebut, kata Marketeer of The Year 2013 itu, adalah untuk membiayai proyek-proyek pariwisata yang dilakukan pelaku usaha pariwisata, pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata, masyarakat (kelompok sadar wisata), dan sebagainya. Juga pembiayaan kembali pelaku usaha pariwisata seperti biro perjalanan wisata serta asuransi keselamatan jiwa bagi wisman dan wisnus untuk aktivitas wisata beresiko tinggi seperti diving, arung jeram, dan wisata minat khusus lainnya.
“Pemerintah telah menetapkan pariwisata sebagai leading sector. Presiden telah menetapkan target pariwisata akhir tahun 2019 harus memberikan kontribusi 15% dari PDB nasional, menghasilkan devisa Rp 240 triliun, serta menciptakan lapangan kerja sebanyak 13 juta orang. Arahan Presiden, 2016 adalah tahun percepatan. Untuk sektor pariwisata, pembangunan 10 destinasi prioritas sebagai ’10 Bali Baru’ harus mengalami kemajuan atau percepatan,” kata mantan Dirut PT Telkom yang asli Banyuwangi itu.
Sebagai tahap awal, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) akan melakukan perjanjian kerja sama terkait dengan pembiayaan pengembangan destinasi dan industri pariwisata yang besarnya diproyeksikan mencapai Rp2-10 triliun. Penandatangan kerja sama itu akan dilakukaan saat Rakernas PHRI di Bali, 20 April 2016.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D.Hadad, menyambut baik kerja sama pengembangan destinasi dan industri pariwisata melalui peningkatan peran Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Maklum, saat ini belum banyak kemudahan akses pembiayaan dari lembaga keuangan ke industri pariwisata. Utamanya, pada sektor usaha kecil dan menengah (UKM) pariwisata.
“Karenanya OJK mendorong lembaga jasa keuangan memperbesar pembiayaan sektor pariwisata. Ini adalah bentuk dukungan pembangunan 10 destinasi wisata baru,” kata Muliaman. (*)