KALAMANTHANA, Pontianak – Ketua Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno, Salamudin Daeng menyarankan kepada pemerintah untuk mempertimbangkan rencana penurunan harga BBM pada 1 April 2016, karena saat ini harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan kembali.
“Demikian juga dengan nilai tukar dolar AS yang juga cenderung naik terhadap rupiah, dan akan berdampak pada meningkatnya ongkos produksi dan distribusi BBM di dalam negeri. Sehingga kondisi tersebut tidak akan menghindarkan pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM,” kata Salamudin Daeng dalam keterangan tertulisnya di Pontianak, Kamis.
Menurutnya, harga BBM yang fluktuatif seperti “yoyo” akan memicu gejolak ekonomi dan semakin tidak terkendalinya inflasi. Sehingga pemerintah sebaiknya fokus menjaga stabilitas harga BBM dan energi lainnya dalam rangka menjaga kelangsungan produksi, produktivitas dan perbaikan daya beli masyarakat.
“Bentuk stabilitas harga BBM itu sebagaimana yang dinikmati bangsa Indonesia sepanjang 30 tahun pemerintahan Soeharto,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, membiarkan harga BBM berfluktuasi sesuai perkembangan harga minyak mentah dan nilai tukar merupakan ciri sistem ekonomi pasar yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kembali pemberian subsidi BBM dengan cara menghapuskan pajak dalam rantai produksi dan distribusi BBM di dalam negeri. Secara konkrit subsidi ini dapat diberikan dengan cara menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor (PBBKB).
Pemungutan pajak tinggi pada barang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam hal ini premium dan solar, menurut dia tidak etis dan berlawanan dengan prinsip barang bersubsidi atau disebut “jeruk makan jeruk”.
Menurut dia, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kembali pembentukan sistem dana stabilitasi yang diambil dari kelebihan harga jual BBM dalam rentang waktu fluktuasi harga. Dana stabilitasi dikelola oleh BUMN PT Pertamina yang selama ini diserahkan tugas untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM penugasan.
Pengelolaan dana ini dilakukan secara transparan dan dilaporkan kepada publik setiap bulan. Dengan demikian Pertamina dapat meminimalisir kerugian akibat pencabutan subsidi BBM sebagaimana yang terjadi awal 2015, katanya.
“Pemerintah mutlak menetapkan harga BBM yang terjangkau oleh masyarakat, bukan berdasarkan pertimbangan bisnis belaka, apalagi untuk kebutuhan pencitraan politik pemerintah, namun semata mata dalam rangka mengangkat derajat kehidupan ekonomi rakyat Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga stabilitas harga BBM paling tidak dalam jangka waktu enam bulan agar tercipta rasa nyaman dan aman di hati masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi dan kehidupan sehari-hari, kata Salamudin.