LIMA dari enam wisudawan terbaik STP Bandung 2016, adalah kaum hawa. Persis di Hari Kartini, 21 April 2016. Fatricia Maulani dari program hospitality muncul dengan indeks prestasi yang spektakuler, 3,84. Lulus dengan pujian.
Momentum yang jarang terjadi dan itulah yang menciptakan haru biru di Dome Malabar yang sedang mewusuda 674 lulusan, lengkap dengan para wali mahasiswa, civitas akademika, dan pelaku industri pariwisata.
Menpar Arief Yahya memberikan ucapan selamat dengan bunga, diiringi orchestra dan koor lagu “Ibu Kartini” kepada Fatricia. “Selamat kepada Kartini Kartini masa kini yang hebat secara akademis, dan berprestasi,” kata Arief Yahya dari atas panggung.
Lima mahasiswa terbaik lainnya adalah Rachmat Panduwinata (3,84) Hospitality, Irawaty Susila (3,66) Kepariwisataan, Mustika Pernatasari (3,62) Magister Management Pariwisata, Endah Futriyani (3,62) Pasca Sarjana, Mirani Elisabeth Siahaan (3,52) Program Perjalanan.
Ketua STP Bandung, Anang Sutiono menjelaskan sejak berdirinya sekolah tinggi pariwisata ini tahun 1962, sampai tahun 2015 sudah meluluskan 19.808 orang. “Sampai saat ini STP Bandung masih menjadi sekolah tinggi pariwisata tertua di Asia Pacifik. Yang kami lakukan sekarang adalah menjaga kualitas lulusan STP agar tetap leading dalam persaingain industri pariwisata yang semakin global,” ucap Anang.
Anang juga melaporkan, bahwa jumlah calon mahasiswa yang mendaftar untuk bergabung di STP Bandung itu lebih dari 4.000 orang. Setelah diseleksi, yang bisa diterima hanya 614 mahasiswa. Itu berarti ada potensi besar lebih dari 3.000 calon yang tidak bisa ditampung di kampus ini. “Karena itu, kami mengusulkan kepada Pak Menteri untuk memiliki kampus baru, yang tanahnya sudah kami miliki 34 hektar, untuk menambah kapasitas lulusan STP Bandung ke depan,” usul Anang dengan konsep green campus, eco campus.
Menpar Arief Yahya menambahkan, STP Bandung ini memang kampus pariwisata paling tua dan paling banyak melahirkan profesional di bidang pariwisata. Sementara ke depan, sektor pariwisata diharapkan bisa menjadi backbone perolehan devisa, ketika minyak bumi dan gas, batubara, dan minyak kelapa sawit sedang memasuki trend menurun. “Pariwisata akan menjadi tulang punggung perekonomian nasional ke depan,” kata Arief Yahya sambil menunjukkan grafik trend dalam angka dan garis.
Lebih jauh, Arief Yahya menjelaskan, gambar besar revolusi industri yang pernah dikupas oleh Alfin Toffler, dalam Future Shock: Thirth Wave. Revolusi gelombang pertama adalah pertanian. Lalu revolusi industri yang menggunakan mesin dan pabrik. Ketiga, revolusi teknologi informasi, dan kini tengah memasuki era industri kultural dan kreatif. “Pariwisata ada di gelombang kermpat, cultural industry,” ungkap Arief Yahya.
STP Bandung memiliki akar sejarah yang panjang. Puluhan tahun silam, Indonesia pernah kerja sama dengan Swiss dan itu menjadi cikal bakal Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB). Bermula dari didirikannya Sekolah Kejuruan Perhotelan (SKP) tahun 1959 yang merupakan sekolah kejuruan menengah atas kejuruan di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tahun 1962 sekolah ini berubah menjadi Sekolah Kejuruan Perhotelan dan Perestoranan (SKPP) di bawah Departemen Perhubungan Darat. 11 Maret 1963, didirikan Akademi Perhotelan dan Perestoranan (APP) dengan lama pendidikan 3 tahun sebagai kelanjutan dari SKP. Tanggal 8 Maret 1965, Akademi ini (APP) berubah namanya menjadi Akademi Perhotelan Nasional (APN), yang merupakan pendidikan tinggi pertama di indonesia dalam bidang Perhotelan.
Berkali-kali nama sekolah ini berubah hingga pada akhirnya muncul Keputusan Presiden Republik Indonesia No.101 tahun 1993 yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1993, BPLP Bandung berubah menjadi Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB) dengan penambahan pendidikan Diploma IV. Dan mulai 2009 sudah mulai ada S1, atau strata satu.
Kini Kemenpar memiliki empat sekolah, dan dua embrio sekolah pariwisata. STP Bandung, STP Bali, Akpar Medan dan Akpar Makassar. Yang masih dirintis adalah Politeknik Pariwisata Palembang dan Politektik Pariwisata Mandalika Lombok. (*)