KALAMANTHANA, Palangka Raya – Tertangkapnya empat buruh haram dari China membuktikan mereka banyak berkeliaran di Kalimantan Tengah. Ironisnya, kesempatan bekerja bagi tenaga kerja lokal justru tipis.
Di Palangka Raya, misalnya, perkembangan dunia industri dan perdagangan yang cukup pesat, ternyata tak diiringi dengan peningkatan penyerapan kesempatan bekerja bagi para pencari kerja lokal. Mereka lebih banyak gigit jari ketika satu demi satu peluang lolos.
“Perkembangan dunia usaha di ibu kota provinsi ini belum banyak membuka kesempatan bagi tenaga kerja lokal dengan alasan rendahnya keterampilan naker lokal,” kata Wakil Wali Kota Mofid Saptono di Palangka Raya, Senin (25/4/2016).
Sebagai contoh sebuah perusahaan makanan jejaring internasional yang mau membuka cabang di Palangka Raya dimulai dengan banyak merekrut calon karyawan, termasuk dari kalangan tenaga kerja lokal. “Namun hingga perusahaan tersebut beroperasi, naker lokal tidak juga mendapat panggilan untuk bekerja,” ucap Mofid.
Alasan rendahnya keterampilan dan etos kerja calon tenaga kerja lokal selalu saja dijadikan alasan untuk mengabaikan pekerja lokal dan cenderung mendatangkan tenaga kerja secara massal dari daerah-daerah di Jawa.
Pemerhati sosial dari Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Muhammadiyah Palangka Raya Dr Raden Biroum berpendapat, pemilik usaha merasa terbebani dengan mempekerjakan karyawan lokal sebagai orang asli daerah.
“Beban terhadap karyawan dari warga lokal itu tidak semata soal keterampilan dan etos kerja, tapi pekerja lokal lebih memiliki sikap dan kemandirian dan itu mengkhawatirkan bagi majikan yang juga sebagai pendatang,” ucapnya.
Sebaliknya karyawan luar daerah yang didatangkan secara khusus menjadi sangat tergantung dengan majikannya. Maka menjadi menerima apa adanya saja, bahkan tidak berani menuntut yang menjadi haknya sebagai karyawan.
Implikasi yang paling mudah dilihat perbedaan mempekerjakan karyawan pendatang dengan karyawan lokal pada penentuan besaran gaji dan berbagai insentif yang telah diatur dalam ketentuan ketenagakerjaan.
Selain itu standar upah di Palangka Raya relatif lebih tinggi dibanding luar daerah termasuk standar upah di Jawa. “Maka pemilik usaha akan mendapat selisih besar dengan merekrut karyawan asal luar Kalteng dibanding mempekerjakan warga lokal yang bisa dan berani bersuara menuntut haknya,” ujar Biroum yang juga peneliti pada Lab Politik dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Palangka Raya itu. (ant/akm)