KALAMANTHANA, Lamongan – Mengangkat tema kemiskinan ekstrim, seminar dalam rangka Hari Pers Nasional (HPN) Jawa Timur tahun 2022 di buka oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, di Pendopo Lokatantra Lamongan Rabu (16/3).
Dalam sambutannya Emil mengatakan kemiskinan ekstrim bukan melihat berapa angka kemiskinan di suatu daerah namun dilihat dari kondisi individu atau kondisi setiap orangnya. Seberapa tingkat pendapatannya dan berapa pengeluarannya, jika pengeluarannya sangat rendah artinya seseorang tersebut masuk kedalam kategori miskin ektrem. Secara internasional kemiskinan ekstrem jika diukur dapat dikatakan yakni masyarakat yang memiliki pengeluaran hariannya di bawah US $ 1,9.
Menurut Emil, kendala yang dihadapi oleh para pemerintah daerah yang dijadikan tolok ukur pemerintah daerah adalah angka kemiskinan bukan kemiskinan ekstrem.
“Kalau kita hanya fokus pada pengentasan kemiskinan ekstrem ini belum tentu dapat mengentaskan pada kemiskinannya, sehingga RPJMD yang kita buat belum dapat tercapai. Maka, kita fokus dulu sama yang bisa cepat terentaskan (kemiskinan),” tutur Emil.
Emil menuturkan, tahun 2021 Pemprov Jatim melakukan uji coba penanganan kemiskinan ektrim tahap I di lima kabupaten meliputi Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sumenep, dan Kabupaten Probolinggo. Selanjutnya di tahap II akan dilakukan di 25 Kabupaten/Kota penanganan program kemiskinan ekstrem.
Penanganan program kemiskinan ektrem dilakukan di 5 kecamatan dari masing masing kabupaten, di setiap kecamatan tersebut dipilih 5 desa atau terdapat sebanyak 25 desa di setiap kabupaten. Penentuan penerimanya dipilih melalui data yang mengacu pada survey Badan Pusat Statistik (BPS) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Lebih lanjut Emil menuturkan, penanganan kemiskinan ektrem harus berbasis pemeberdayaan, dengan cara melakukan pemetaan kantong-kantong, dengan pemetaan kantong maka satu masalah dapat dipukul banyak. Hal tersebut juga harus dilakukan secara bersama termasuk peran media. Emil mengharapkan media bukan menjadi propaganda namun menjadi masukan, realita politik, inisiatif baik juga perlu adanya dorongan.
“Kalau sudah adanya tindakan baik dari pemerintah perlu adanya support dari media. Kalau hanya dihantam jelek-jeleknya dan yang baik tidak diapresiasi hal ini akan menjadikan kita hanya fokus pada kesana, yang penting-penting akhirnya tidak kita laksanain. Kerana itulah realitanya politik,” harap Emil.
Pada kesempatan yang sama Bupati Lamongan Yuhronur Efendi selaku pemateri pada seminar nasional peran pemerintah dalam menanggulangi problem di Jawa Timur menyatakan, Kabupaten Lamongan sebagai salah satu pilot projek penurunan kemiskinan ekstrem, terdapat 3 hal yang dilakukan untuk solusi kemiskinan ekstrem diantaranya pengurangan beban pengeluaran, peningkatan pendapatan, dan peningkatan kualitas kawasan lingkungan.
“Kabupaten Lamongan Alhamdulillah capaian kemiskinan meskipun masih 13,86%, namun demikian kita mampu kita tahan, artinya tidak adanya kemiskinan baru, dengan kenaikan terendah di Jawa Timur yakni 0,01%, apalagi dimasa sulit seperti pandemi ini,” tutur Pak Yes.
Menurut Pak Yes, pemerintah tidak dapat menghitung indeks capaian atau prestasi desa/kelurahan cukup baik secara khusus, namun pemerintah maupun masyarakat dapat merasakan dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di desa/kelurahan tersebut. Namun dengan adanya 25 desa pilot projek pak yes yakin adanya perubahan dari sebelum dan sesudah pengadaan program interfrensi kemiskinan ektrem.
“Tentu kita tidak bisa melakukan sendiri, apalagi kalau dihitung secara kasar untuk menangani kemiskinan ekstrem ini kita harus menyediakan 108 M, itu sesuatu yang berat untuk APBD kita apalagi di tengah pandemi, sehingga konsep kolaborasi pentahelix yang melibatkan semua pihak termasuk media massa, ini yang dapat kita sinergikan untuk penanganan kemiskinan ekstrem,” harap Pak Yes.
Sementara itu ketua PWI Jawa Timur Lutfi Hakim menyatakan, persyaratan dasar menjadi seorang jurnalis terdapat berbagai tahapan minimalnya memiliki kompetensi.
“Saya kira uji kompetensi itu bukan hal yang yang luar biasa karena itu sesuatu yang dasar sekali harus dilakukan yang secara prosedural berdasarkan peraturan dewan pers, kami mengajarkan kepada teman-teman yang bukan secara prosedural namun secara subtansial dengan menambah ilmu pengetahuan kajian-kajian yang competent dalam mengambil peran sebagai kontrol sosial terutama di daerah masing-masing,” tutur Lutfi.
Lebih lanjut Lutfi menjelaskan, kontrol sosial yang bermaksud bukan untuk memusuhi sistem sosial yang ada dan sistem pemerintahan yang berjalan, namun memberikan sumbangsih kritik konstruktif, mengenai jalannya pembangunan dapat berjalan secara proporsional, seimbang, dan benar.(gdi)