MENTERI Pariwisata Arief Yahya menegaskan pada Tim Percepatan 10 Top Destinasi agar fokus pada deregulasi dan infrastruktur pariwisata. Dua tema itulah yang bisa membuat terobosan dan akselerasi dalam menciptakan 10 Bali-Bali baru di tanah air.
“Deregulasi adalah cara paling efektif mentransformasi bangsa ini, karena tantangan utama kita adalah birokrasi, yang kita perlukan adalah strategi kecepatan untuk melompat dan melakukan percepatan,” tegas Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI, di Jakarta.
Dia mencontohkan deregulasi yang sudah dilakukan Kemenpar adalah kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) yang saat ini sudah 169 negara, per 2 Maret 2016. Negara Kanguru Australia, negara yang paling potensial, masuk di salah satu daftar BVK itu. “Pertama 15 negara. Deregulasi pertama menjadi 45 megara, lalu deregulasi tahap kedua 90 negara. Kebijakan BVK ini diproyeksikan akan meningkatkan kunjungan wisman ke Idnonesia pada 2016 sebanyak 1 juta orang, dengan asumsi devisa US$1,2 miliar,” jelas Arief Yahya.
Lalu deregulasi kedua, soal penghapusan ketentuan CAIT – Clearance, Approval for Indonesia Territory. Perpres No 105 tahun 2015 tentang kunjungan Perahu Wisata (Yacht) Asing ke Indonesia yang diundangkan tanggal 30 September 2015, menggantikan Perpres No 79 tahun 2011 dan Prepres No 180 tahun 2014. “Deregulasi penghapusan CAIT ini diproyeksikan akan meningkatkan kunjungan yacht ke Indonesia dari 750 yacht di 2014, menjadi 5.000 yacht di 2019, dengan perolehan devisa sebesar US$500 juta,” kata dia.
Deregulasi lain yang sudah dilakukan Kemenpar adalah Cabotage Cruise, atau kapal pesiar asing, yang boleh menaik-turunkan penumpang di lima pelabuhan di Indonesia. Yakni Belawan Medan, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Benoa Bali dan Soekarno-Hatta Makassar. “Nah, di sini diharapkan bisa meningkatkan jumlah cruise berbendera asing yang datang ke Indonesia, dari 400 cruise 2014, menjadi 1.000 cruise di 2019, dan meraup devisa US$300 juta,” kata Arief Yahya.
Infrastruktur dari dan menuju ke destinasi pariwisata biasanya, kecil, sempit dan penuh bottlenecking. Itulah yang harus disusun oleh Tim Percepatan 10 Top Destinasi, untuk memperoleh impact yang optimal. “Ini inline dengan spirit Presiden Joko Widodo untuk melakukan percepatan dengan infrastruktur dan penyederhanaan peraturan,” ungkap Arief.
Presiden Jokowi juga menyoroti pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat terlambat. Mantan Gubernur DKI itu mencontohkan panjang jalan tol saat ini di Tiongkok 60.000 km, setiap tahun dibangun 4.000-5.000 km. “Kita baru punya 840 km. Oleh sebab itu saya beri target ke Menteri PU dan Perumahan Rakyat selama lima tahun minimal 1.000 km,” ucap Presiden saat Peresmian Pengoperasian Jalan Tol Surabaya-Mojokerto Seksi IV (Krian-Mojokerto) di Mojokerto, Sabtu, 19 Maret 2016.
Presiden juga menjelaskan ruas jalan tol yang diresmikan ini sebenarnya sudah sejak 21 tahun yang lalu dibangun tapi tidak selesai karena pembebasan lahan. “Meskipun ini baru separuh dan tahun depan harus sudah sambung,” ucap Presiden.
Ruas tol Batang-Semarang misalnya, sudah beberapa tahun berhenti, lalu diambil alih. “Baru minggu lalu diambil alih, BUMN masuk. Insya Allaih 2018 dari Merak-Surabaya sudah nyambung tanpa alasan apapun,” ucap Presiden. Untuk mewujudkan hal ini, Presiden akan terus mengikuti perkembangan pembangunan jalan tol, sehingga proyek pembangunan jalan tol dikerjakan dalam 24 jam dan 3 shift.
Dalam enam tahun di Tiongkok dapat membangun jalur kereta api cepat sejauh 16.000 km. Sementara di Indonesia, ucap Presiden, baru mengerjakan kereta cepat yang hanya berjarak 150 km sudah ramai. “Kita ini seneng ramai. Saya akan ubah ramainya menjadi ramai kerja kerja, bukan ramai debat, ramai saling bicara,” kata Mantan Walikota Solo itu. (*)