KALAMANTHANA, Pontianak – Pengamat ekonomi yang juga mantan Dirut Pertamina EP, Salis Aprilian menyatakan sebaiknya pemerintah mengembangkan konsep hulu dan hilir dalam pengembangan gas di Blok Masela dipisahkan.
“Jika kita ingin mengembangkan proyek gas Masela lebih cepat dan ekonomis, pisahkan antara proyek hulu dan hilir. Beban negara akan lebih kecil dengan skema cost recovery yang lebih efisien. Skema ini sekaligus akan mendorong industri hilir maju lebih cepat,” katanya.
Menurut dia, jika ada pembeli internasional yang berminat, atau penjual domestik yang ingin mengekspor gas tersebut, sebaiknya gunakan fasilitas PT Badak, untuk membuat LNG kemudian dikapalkan ke negara tujuan.
“Dalam pengembangan hulu dan hilir gas di Blok Masela, kita bisa meminta Inpex-Shell hanya berkewajiban mengeksploitasi gas dari dasar laut ke permukaan laut dengan menjual gas setelah dimurnikan di FPSO (floating production storage dan offloading), lalu meminta siapapun yang butuh gas, agar membelinya di sana, atau berjualan gas dengan harga FOB (free on-board),” kata Salis Aprilia dalam keterangan tertulisnya diterima Antara di Pontianak, Jumat.
Kemudian, bisa minta BUMN Pertamina, PLN, PGN dan lainnya, atau pihak swasta membeli gas tersebut yang diambil dengan kapal-kapal CNG yang disewa dari BUMN atau pihak swasta, katanya.
Sebelumnya, Rabu (23/3) Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan kerja ke Entikong, Provinsi Kalimantan Barat, dalam keterangan persnya mengumumkan bahwa proyek Blok Masela diputuskan dibangun di darat dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan saran yang diberikan.
Dalam kesempatan itu, Salis menambahkan, dengan pola pengembangan hulu dan hilir gas di Blok Masela, maka akan tumbuh industri-industri strategis nasional yang bergandengan dengan industri maritim untuk memperkokoh kedaulatan NKRI.
Kapal-kapal kecil CNG dapat menyuplai gas sampai ke pelosok pulau-pulau dimanapun, baik untuk bahan bakar pembangkit listrik, petrokimia, pabrik keramik, smelters dan lain-lain.
Sementara itu, menurut dia, bagaimana jika investor (Inpex-Shell) atau perusahaan lain masih ingin menjual gas tersebut ke pasar dunia. Bukankah mengapalkan CNG dalam jarak jauh tidak ekonomis?. Jika demikian yang diinginkan, maka CNG dapat dikirim ke PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur, untuk dijadikan LNG, dari sana kemudian LNG dikapalkan ke pembeli yang dituju, katanya.
PT Badak NGL tahun ini dan tahun-tahun ke depan akan terus kekurangan pasok gas. Dengan hanya mengoperasikan tiga train dari delapan train yang ada, PT Badak akan memiliki lima iddle trains yang dapat menyerap dan memproduksi LNG hingga 12 juta ton per tahun, katanya.
“Kalaupun semua gas Blok Masela yang hanya 7,5 mtpa akan dijadikan LNG, maka sudah cukup diproses di Bontang, dan tidak perlu membangun pabrik baru LNG. Kalau begitu, konsep ini tidak akan memberi muliplier effect bagi masyarakat Maluku dan sekitarnya, kata siapa?,” katanya.
Dengan nilai investasi yang jauh lebih kecil hanya sekitar 9 miliar dolar AS dengan konsep CNG dibanding 14-18 miliar dolar AS, pada konsep LNG berarti ada selisih sekitar 5 miliar dolar AS, maka banyak hal yang bisa perbuat, seperti pembangunan berbagai infrastruktur atau peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kesempatan itu, mantan Dirut PT Pertamina itu menyatakan keputusan Presiden Joko Widodo yang menolak pembangunan LNG di laut sudah tepat, tetapi untuk membangun LNG di darat perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut, diantaranya untuk apa membangun pabrik LNG, jika masih punya aset negara di PT Badak.