KALAMANTHANA, Sampit – Suara wanita itu terdengar kencang. “Mau makan apa anak-anak kami kalau suami kami ditahan, Pak Polisi?” teriak Mudaw, wanita tersebut.
Mudaw termasuk salah satu warga Desa Rubung Buyung, Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang menggeruduk kantor PT Tunas Agro Subur Kencana (TASK), Senin (3/10/2016). Sudah lebih sebulan dia terpisah dari suaminya yang ditangkap petugas Polda Kalteng atas aduan PT TASK dengan tuduhan pencurian buah sawit.
“Pak polisi menahan suami kami tanpa dicek kebenarannya dan malah dituduh mencuri. Padahal, PT TASK III yang mencuri di lahan kami,” ujar istri dari Rodi itu. Rodi termasuk di antara 16 warga Rubung Buyung yang ditahan polisi sejak Selasa (13/8/2016) lalu.
Dia juga menyatakan aksi penangkapan bersama teman-teman suaminya itu tidak wajar. Sebab, surat penahanan yang dikirimkan pihak kepolisian baru sampai ke tempatnya setelah suaminya seminggu mendekam di ruang tahanan Polda Kalteng.
“Apa yang dilakukan perusahaan ini jahat sekali. Kami selaku istri-istri mereka yang ditahan oleh Pak Polisi mengutuk keras apa yang terjadi ini,” tambah Mundaw.
Para pemilik lahan, yang sebagian kini mendekam di sel Polda Kalteng, menengarai Bupati Kotawaringin Timur menerbitkan izin lokasi PT TASK di atas lahan bersengketa yang diduga hasil perambahan hutan sejak tahun 2011.
Salah seorang Ketua Kelompok pemilik 612 hektare lahan yang telah diklaim PT TASK III, Yusuf mengatakan areal lahan ini sudah dilakukan MoU dengan PT TASK untuk diplasmakan.
Kemudian saat ini, status lahan yang sudah ada tanaman buah sawit itu tidak boleh dipanen, sebelum sengketa itu benar-benar selesai. Namun baru-baru ini diketahui, bahwa PT TASK telah mengantongi zin lokasi dan pihak pemerintah daerah yang dikeluarkan pada tahun 2013 lalu, sehingga mulai terjadi gesekan.
Warga juga menerima laopan bahwa perusahaan sudah melakukan pemanenan buah kelapa sawit dan membuat aksi panen dari warga setempat, hingga terjadi penangkapan atas tuduhan pencurian buah kelapa sawit.
“Kami menuntut agar perusahaan ini berhenti beroperasi sampai ada kejelasan yang pasti. Begitu pula 16 warga kami agar segera dibebaskan karena ini tidak berdasar. Kami akan melakukan demo besar-besaran nantinya bila ini tidak ditanggapi oleh pemerintah daerah dan DPRD Kotim,” ungkap Yusuf.
Sementara itu, sampai berita ini diturunkan pihak perusahaan tidak ada satupun yang berani memberikan komentar terhadap masalah ini. (raf)