KALAMANTHANA, Tamiang Layang – Ketidakpastian payung hukum atas pengelolaan jalan eks pertamina, jalan yang dipergunakan untuk mengangkut batubara di kabupaten Barito Timur (Bartim) , Kalimantan Tengah, kian ramai diperbincangkan, karena diduga pungutan dan pengelolaan jalan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Setelah pencabutan Peraturan Daerah (Perda) Bartim nomor 5 tahun 2006 tentang Investasi Infrastruktur Jalan Dan Landing Site Eks. Pertamina dicabut, karena cacat hokum. Sebab didalam Perda tersebut memuat nama suatu perusahaan sebagai pengelola. Seharusnya setelah Perda nomor 6 dicabut, ada Perda penggantinya, namun hingga sekarang belum diterbitkan Perda penggantinya.
Salah satu tokoh masyarakat yang juga Ketua Komite Pendiri Pemekaran kabupaten Bartim Badowo mengatakan, jalan eks pertamina seharusnya di kelola oleh pemerintah daerah, sehingga ada pemasukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bartim, ucap Badowo di Tamiang Layang, Senin (01/04/2019).
“Pengelolaan jalan eks pertamina seharusnya diambil alih oleh Pemda Bartim, dasar hukumnya adalah Undang-Undang (UU) nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 65 ayat (2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang, ayat (2) d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan atau masyarakat”, jelas Badowo.
Sudah sangat jelas aturan yang ditegaskan oleh UU, sekarang tergantung apakah Bupati Bartim mau atau tidak menggunakan kewenangannya, karena kalau dikelola oleh Pemda Bartim maka akan ada hasilnya untuk PAD.
Ketua Komando Bartim itupun melanjutkan, janganseperti sekarang dikelola oleh kelompok pengusaha tertentu dan uangnya masuk kantong mereka sendiri. sementara Pemkab Bartim hanya kebagian debu, limbah dan masalah yang tidak berujung kecuali kerugian secara materil dan sosial kemasyarakatan.
Dari audit BPKP tahun 2010, uang yang diraup kantong pengusaha berkisar Rp. 19,7 milyar hanya dalam waktu 11 bulan, artinya setahun bisa mencapai Rp22 miliar lebih, kalau pungutan itu sudah berlangsung hampir 9 tahun berapa kerugian negara/daerah.
Semasa Perda nomor 5 tahun 2006 masih berlaku, Pemkab Bartim mendapat PAD dari pengelola jalan tersebut, berbagi keuntungan bersih dari pengelola jalan tersebut, setelah pengelola mengeluarkan biaya perbaikan jalan dan tetek bengeknya.
Setelah Perda nomor 6 tahun 2005 dicabut jalan eks pertamina dikelola oleh Asosiasi Penambang Batubara (APB), yang melakukan pengelolan, baik perbaikan jalan, penarikan iuran kepada perusahaan yang menggunakan jalan eks pertamina dengan alasan sebagai pembayaran untuk perawatan dan perbaikan jalan.
Setelah ramai diperdebatkan kini APB mengganti nama menjadi Perkumpulan Pertambangan Batubara (PPB) Bartim, yang telah melakukan pengelolaan di jalan eks pertamina, yang meraup keuntungan dari jalan eks pertamina tanpa ada payung hukum yang memayungi, karena tidak ada menyetorkan untuk PAD.
Anehnya para penegak hukum sepertinya tidak melakukan tindakan apapun juga atas dugaan terjadinya pungutan liar tersebut, apakah si pemungut juga sudah membayar pajak, ungkap Badowo.”Saya berharap hanya pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) yang berani dan mampu membongkar kasus jalan eks pertamina sampai tuntas”, pungkasnya. (afa)